Kala
terkadang kejam, merenggut semua kebahagiaan dengan sekejap dan membuat
penderitaan terasa jauh lebih lama. Dan hampir selalu demikian. Perpektif
terhadap waktu kini telah berubah seiring berjalannya waktu. Dari pandangan
yang menganggap waktu tak terbatas masanya menjadi terbatas karena diracuni
oleh logika dan pengetahuan. Dahulu, manusia menjalani hidup tanpa mengenal apa
itu waktu, berlanjut ke kehidupan dimana manusia sudah mulai mengenal pagi dan
malam berlanjut lagi dimana detik menjadi satuan penting bagi waktu dan kini
sekarang manusia sudah membahas tentang melawan takdir, bahwa waktu bisa diatur
ulang ke masa yang sudah usang. Waktu kini dari sesuatu yang tidak penting
berubah menjadi sesuatu ketakutan yang tidak pernah disadari oleh manusia.
Begitu pula dengan Bumi yang hanya bisa pasrah akan kemana jarum waktu akan
membawanya nanti karena semua mimpinya sudah direnggut oleh waktu. Bumi kini
duduk diatas ranjangnya. Menatap ke arah jam dinding, Berharap waktu membawanya
pergi. Namun sayangnya bukan begitu waktu bekerja, sehingga ia hanya berdiam
ditempat dan waktu tidak membawanya kemanapun. Bumi terdiam selama satu jam,
tidak melakukan dan memikirkan apapun. Ia telah menyianyiakan 1 jam dalam
hidupnya untuk menjadi santapan sang kala. Bumi tau kalau ia tidak boleh untuk
terus diam. Ia harus bergerak untuk mimpinya dan dengan bergerak waktu akan
menjawab semua.
Bumi
mulai berdiri meninggalkan ranjangnya dan menuju ke mesin ketik kesayangannya.
Berharap ada mimpi yang tersisa disetiap kertas yang akan ia gunakan. Ia bahkan
sudah lupa kapan terakhir dirinya menggunakan mesin ketik tersebut. Mungkin
ketika ia sedang menyusun thesis untuk kelulusannya. Bumi terdiam, mengelus
setiap tuts mesin ketik tersebut. Terkadang ia ingin menekan salah satunya
namun ia tidak ingin membuang – buang kertasnya. Masa lalunya yang sangatlah
kelam membuat dirinya tidak bersemangat lagi menjalani hidupnya. Patah arang
dan putus asa sudah ada dalam benaknya bahkan sempat terfikir untuk mengakhiri
hidupnya, namun untung logika nya masih sedikit tersisa tidak termakan oleh
perasaan putus asanya. Sejenak Bumi memikirkan orang tuanya. Bagaimana usaha
mereka untuk membesarkannya dan mendidiknya. Bagaimana beban mereka untuk
melepas kepergian nya demi mimpi – mimpinya. Semua pikiran tersebut hanya
menjadikan hidup Bumi semakin terbebani. Namun Bumi percaya kalau semesta
tercipta untuknya dan kegagalannya kini adalah sesuatu yang akan mengantarnya
ke pintu kebahagiaan yang mutlak.
Bumi
berdiri dan mulai mengemas beberapa pakaian. Bumi berharap mimpinya selanjutnya
tidak akan terhenti oleh kejamnya waktu. Bumi pun meninggalkan kamar dan
bangunan yang sudah menjadi saksi sejarah 5 tahun terakhirnya menuntut ilmu
yang kini ia anggap sebagai sesuatu yang sia – sia dan tidak berguna. Bumi
tidak punya tujuan, ia ingin menenangkan dirinya dari semua kisah yang telah
diwasiatkan oleh sang kala kepadanya. Yang ia tau, dia harus segera mencari
sesuatu yang baru dan untuk tidak berdiam di satu tempat yang sama.
Bumi
berjalan melewati gang – gang kecil disekitar tempat tinggalnya. Ia melihat
banyak anak kecil bermain disana. Betapa bahagianya mereka bisa bermain tanpa
memikirkan beban hidup dan tantangan yang akan dihadapi kedepannya pikirnya. Ia
terus berjalan. Ia melihat pengemis yang sudah paruh baya hanya menengadahkan
tangannya ke atas. Bumi tidak mampu melihat wajahnya karena pengemis tersebut
menunduk tidak peduli siapa yang telah memberikannya uang dan sepertinya ia
sangat sedih dengan hidupnya. Bumi melewatinya, tidak jauh setelahnya Bumi
bertemu dengan seorang pengamen. Ia bernyanyi sambil menepuk tangannya.
Suaranya bahkan lebih cocok untuk dikatakan buruk dibanding dengan merdu. Namun
walaupun demikian pengamen tersebut tetap membagikan senyum kepada semua orang
yang lewat. Walaupun nyaris tidak ada yang memberikannya uang. Bumi merogoh
kantongnya dan menemukan koin. Segera ia memberikan uang nya kepada pengamen
tersebut.
Bumi
terus berjalan sampai akhirnya ia lelah dan duduk di halte bus untuk
bersitirahat. Bumi berencana untuk naik bus selanjutnya dan tidak peduli akan
dibawa kemana dirinya. Ia hanya butuh petualangan yang baru kini. Tiba – tiba seorang
anak lelaki paruh baya dengan baju kemeja, bercelana panjang menghampirinya
lalu duduk disampingnya. Pria paruh baya tersebut tidak asing bagi Bumi hari
ini. Beberapa kali Bumi berpapasan dengan pria tersebut pagi ini. Tiba – tiba
pria tersebut mulai mengatakan sesuatu kepadanya
“Kenapa?”
Bumi
menengok kearah pria tersebut mencoba mencerna semua perkataannya? Sekali lagi
pria tersebut mengatakan hal yang sama?
“Kenapa?”
“Maaf
tuan, apakah ada yang salah?” jawab Bumi
“Kenapa
kau memberikan uang tersebut kepadanya?” balas pria paruh baya tersebut
“apa
maksud anda?” jawab Bumi
“Kenapa
kau memberikan uang tersebut kepada pengamen tersebut bukannya kepada wanita
pengemis sebelumnya?”
Bumi
mulai mengingat – ingat kejadian barusan. Ia bahkan sudah lupa kalau ia barusan
memberikan uang kepada pengamen. Bumi sudah ikhlas dan melupakan hal tersebut.
Namun jika diingat – ingat, Bumi memang bertemu dengan pria tersebut saat itu.
“Aku
bahkan sudah melupakan uang itu.” Jawab Bumi
“Kenapa?”
pria
tersebut tetap ngotot untuk mengetahui alasan Bumi memberikan uang kepada
pengamen tersebut.
“Apakah
hal ini harus diperdebatkan?” Jawab Bumi
“Aku
hanya ingin tahu kenapa” Balas pria tersebut.
“Seandainya
aku juga tahu kenapa, aku hanya ingin saja memberikannya uang.”
“Kenapa
kamu lebih memilihnya dibanding pengemis tersebut?”
“Tuan,
tidak semua hal di dunia ini harus dijawab. Kenapa burung terbang, kenapa ikan
berenang, kenapa manusia memiliki akal dan bisa jatuh cinta, kenapa bumi bulat.
Aku tidak tertarik untuk mengetahui semua alasan mengapa semesta seperti ini.
Aku percaya semua terjadi karena demikian adanya. Soal uang barusan, apakah
salah jika aku ingin memberikannya kepada pengamen tersebut? aku tau kalau
pengemis tersebut terlihat jauh lebih patut untuk dikasihani. Namun apa salah
jika aku ingin melewatinya saja? Aku rasa jika hidupnya semakin memburuk juga
bukan salahku. Ia tidak berusaha dan hanya mengandalkan orang lain. Bahkan
untuk menunjukan mukanya saja ia malu. Apakah salah jika aku menghargai
senyuman tanpa pamrih yang diberikan oleh pengamen tersebut? Tuan, jika tuan
memang ingin membantu pengemis tersebut silahkan saja. Aku tidak ingin
memperdebatkan masalah ini.”
Bumi
menarik nafasnya, dan dengan tenang menatap kea rah depan.
“Sekarang
kau tau kenapa.” Jawab pria tersebut
Ketika
Bumi menengok ke arah pria tersebut kembali, kini ia telah hilang. Entah ditelan
oleh ruang atau waktu.